Old Trafford, yang dulu digadang-gadang sebagai benteng tak tertembus, kini tak lagi segarang era Sir Alex Ferguson. Kepergian sang legenda pada 2013 seolah menjadi batas jelas memudarnya kegarangan Manchester United di rumahnya sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Setan Merah?
Musim ini, keangkeran Old Trafford semakin terkikis. Akhir pekan lalu, MU dipermalukan Bournemouth 0-3 di hadapan para penggemarnya. Itu bukan sekadar kekalahan biasa, melainkan kali keempat dalam satu musim mereka tumbang di rumah sendiri. Dan parahnya lagi, seluruh kekalahan itu terjadi dengan pola yang sama: kebobolan tiga gol!.
Statistik ini menambah pilu. MU di era Sir Alex Ferguson hanya menelan 34 kekalahan kandang selama 21 tahun di Premier League. Namun, sejak 2013, angka itu sudah melonjak menjadi 41 kekalahan hanya dalam kurun waktu 11 tahun. Enam manajer permanen telah mencoba mengembalikan kejayaan, tapi hasilnya nihil. Old Trafford yang dulu menjadi momok bagi lawan kini terasa hanya sebatas nama besar.
Kehilangan Ferguson jelas menciptakan lubang besar yang sulit ditambal. Di bawah arahannya, MU bukan cuma tim yang tangguh secara taktik, tetapi juga punya mental juara yang mengakar. Mental inilah yang kini seolah hilang, membuat para pemain MU tampil tanpa nyawa di lapangan.
Sebagai milenial yang tumbuh di era kejayaan Ferguson, rasanya sulit menerima kenyataan ini. Old Trafford bukan sekadar stadion, tapi simbol dominasi, tempat mimpi indah fans MU diwujudkan. Kini, mimpi itu berubah menjadi kenangan manis yang perlahan memudar.
Namun, di tengah kesuraman ini, ada pelajaran yang bisa diambil. Sejarah telah membuktikan bahwa tim besar selalu menemukan cara untuk bangkit. Mungkin butuh waktu lebih lama, tapi para penggemar Setan Merah harus tetap percaya bahwa kejayaan akan kembali. Sementara itu, Old Trafford tetaplah rumah, meski saat ini ia tak seangker dulu.